Jumat, Oktober 18, 2013

Mengapa tekanan terhadap minoritas merebak?

Sikap toleran telah lama menjadi identitas bangsa Indonesia sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaan lebih dari separuh abad yang lalu.


Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian mengatakan tindakan-tindakan bernuansa intoleransi antara lain sengketa pendirian rumah ibadah dan tekanan terhadap aliran keagamaan yang dituduh menyimpang atau sesat seperti Ahmadiyah dan Syiah memang menunjukkan peningkatan meski tidak signifikan.Namun berbagai peristiwa, termasuk adanya Perda berbasis Syariah, intimidasi terhadap kelompok kepercayaan tertentu dan upaya pembatasan berekspresi antara lain dalam bidang kesenian menimbulkan pertanyaan apakah nilai toleransi bangsa ini mulai luntur?

Perda Syariah

Belum lama ini, pemerintah kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berencana menerapkan Perda Syariah yang antara lain mewajibkan pemakaian jilbab bagi perempuan muslim di wilayah hukum Tasikmalaya dikecam sebagai sesuatu yang inkonstitusional oleh aktivis dari kelompok Setara untuk Demokrasi dan Perdamaian.
Perda No 12 /2009 itu berisi tata nilai kehidupan masyarakat yang berlandaskan ajaran agama Islam dan bertujuan mengendalikan 15 'perilaku tidak terpuji' antara lain korupsi, perzinahan, homoseksualitas, perdukunan dan premanisme.
"Pertanyaannya adalah orientasi politik atau ideologi pejabat, apakah mereka masih tetap konsisten untuk perjuangkan Pancasila sebagai landasan hidup bersama atau apakah mereka secara diam-diam mencoba untuk mendorong ideologi lain di luar ideologi yang kita sepakati bersama," kata Bonar.
Menurut Bonar, ada upaya gerilya untuk menelurkan sejumlah peraturan daerah yang bertentangan dengan prinsip bersama bangsa Indonesia.
"Dan celakanya dengan alasan otonomi daerah atau demokrasi lokal, hal itu didiamkan oleh pemerintah pusat yang seakan tidak berdaya untuk melihat kecenderungan ini," kata dia lagi.
Berdasarkan data Setara, saat ini di Indonesia terdapat 154 Perda tentang syariah yang tersebar di 76 daerah tingkat dua.
"Perda-perda itu belum dibatalkan oleh pemerintah pusat dan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perlahan-lahan ada proses disintegrasi di Indonesia tetapi kewaspadaan pejabat dan publik tidak ada serta tidak peka," kata Bonar.
Pertengahan Juni Kementerian Dalam Negeri memanggil perwakilan pemkot Tasikmalaya ke Jakarta untuk dimintai keterangan mengenai perda tersebut, tetapi hingga saat ini belum ada kejelasan apakah perda tersebut jadi diterapkan atau dibatalkan.
"Jika peraturan itu membawa kebaikan bagi warga, maka tidak masalah apakah itu berdasar Islam atau bukan, tapi ada tidak salah juga kalau pemerintah sekalian menjelaskan alasan kenapa peraturan itu dibuat," kata seorang warga Tasikmalaya, Rina Komala pada BBC.

Kebebasan berekspresi

Indonesia menjadi sorotan dunia internasional ketika sejumlah kelompok masyarakat turun jalan memprotes rencana konser Lady Gaga. Organisasi masyarakat Forum Pembela Islam (FPI), salah satu kelompok yang paling lantang menyuarakan penolakan itu, secara terbuka mengumumkan telah membeli ratusan tiket konser dan menegaskan "akan mengacaukan konser" jika polisi tetap mengizinkan konser berjalan.
Ketua DPP FPI Jakarta Salim Assegaf dalam wawancara dengan BBC Juni lalu mengatakan penolakan itu berdasarkan keyakinan bahwa Lady Gaga menganut ajaran sesat.
"Ia memuja setan dan pakaiannya juga tidak sopan," kata Assegaf saat itu.
Ketua DPD FPI Jakarta Habib Salim Alatas pekan lalu mengatakan pada BBC bahwa mereka tidak menginginkan Lady Gaga karena ia adalah pemuja setan dan juga karena busananya dinilai tidak mengikuti norma kesopanan.
Pada 3 Juni, hari ketika konser tersebut dijadwalkan digelar, belasan penggemar Lady Gaga atau kerap disebut Little Monster, menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka mengecam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap gagal melindungi terlaksananya konser artis asal AS itu.
Dengan diiringi sejumlah lagu Lady Gaga seperti Born This Way dan Judas, mereka menari dengan gaya khas mereka sambil mengacungkan poster kecaman atas pembatalan konser Lady Gaga.
"Kami ingin menari dan menyanyi bersama-sama sebagai hadiah untuk Pak Susilo Yudhoyono, kita ingin menunjukan kepada dia kalau fans Lady Gaga banyak, seharusnya kepolisian bisa merespon positif konser ini... tapi karena ketidaksiapan kepolisian maka pihak Lady Gaga membatalkan konser ini dan kami kecewa," kata Anggiat Sihombing.
"Biar presiden denger kalau Lady Gaga pantas konser di Jakarta, dan kenapa di negara lain bisa meskipun ada kontroversi," kata Valerie Agnes, penggemar Lady Gaga lainnya.
Sejumlah penggemar Lady Gaga lainnya dalam kesempatan aksi itu juga mengecam ketidak beranian pemerintah dalam menghadapi tekanan kelompok agama yang tidak setuju dengan konser tersebut.

Intimidasi pada minoritas

Sorotan terhadap isu ini mulai mengemuka ketika terjadi serangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, yang menewaskan tiga orang dan melukai belasan orang lainnya oleh ribuan orang yang mengaku berasal dari berbagai kelompok massa.
Ahmadiyah adalah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Pada 1930, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Pada 2008, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Salah satu kelompok massa yang gigih menyuarakan penolakan terhadap Ahmadiyah adalah Forum Pembela Islam (FPI).
Ketua DPP FPI Habib Salim Assegaf mengatakan pada BBC Indonesia bahwa FPI memiliki alasan kuat.
"Ahmadiyah itu bukan Islam, titik. Dan dia [Ahmadiyah] jangan membawa-bawa Islam," kata Assegaf.

Toleransi meluntur?

Dengan berbagai aksi massa menolak hal-hal yang bertentangan dengan prinsip Islam, FPI dicap sebagai organisasi fundamentalis yang mempromosikan intoleransi.
"FPI tidak toleran? itu salah, kami sangat toleran. Kami hanya menegakkan amar maruf nahi munkar, FPI ga melakukan tindak kriminal. FPI ga ada yang jual narkoba, ga ada yang bunuh orang, atau jadi teroris," kata Assegaf.
Namun Setara memandang peran ormas seperti FPI dalam opini berbeda.
"Dalam banyak kasus-kasus intoleransi, keterlibatan mereka tidak bisa diabaikan. Malah dalam beberapa kasus kita menemukan mereka yang menjadi aktor utama.adi actor utama. Kalau masyarakat Indonesia sendiri tidak mempermasalahkan. Misalnya pendirian rumah ibadah, masyarakat setempat bisa menerima atau mengakomodir tapi justru kelompok-kelompok dari luar yang memprovokasi," kata Bonar.
Setara menghimbau pemerintah agar peka dan gigih mencari jalan keluar untuk mengakomodir perbedaan di masyarakat dan mencegah semakin luruhnya sikap toleransi bangsa.
"Tapi jika mengatakan masyarakat Indonesia sudah tidak toleran lagi, hal itu masih terlalu dini. Tapi mungkin bisa kita sebut sebagai adanya indikasi bahwa toleransi mulai meluntur atau terkikis, tapi yang jelas dalam hal ini mengikisnya toleransi disebagkan kurangnya tindakan atau upaya pemerintah untuk mencegah kecenderungan ini," kata Bonar.
Ia mengatakan pemerintah bahkan dapat dikatakan absen dalam hal ini dan hanya sekedar menjaga keamanan agar tidak terjadi bentrokan fisik. Setara memandang pemerintah justru mendorong agar kelompok keagamaan itu sendiri yang memecahkan persoalannya.

"Padahal jelas jika menyangkut kebebasan beragama itu adalah kewajiban negara atau pemerintah," kata dia.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More